Rabu, 11 Januari 2017

Tasawuf di Indonesia



Islam masuk ke pulau Jawa tidak bisa dilepaskan dalam konteks masuknya Islam di Nusantara. Begitu juga dengan tasawuf, masuknya tasawuf di Pulau Jawa tidak bisa dilepaskan konteks masuknya Islam di Nusantara khusunya Pulau Jawa. Orang banyak menyebut bahwa Pulau Jawa adalah pulaunya wali songo, karena Islam tersebar di pulau ini tidak lepas dari kegigihan perjuangan para wali, yang disebut dengan “Wali Songo”. Islam di Pulau Jawa juga menyebabkan lahirnya beberapa kerajaan islam. Kerajaan Islam di Jawa mulai berdiri pada abad ke 15 .

Diakhir abad ke 15 Masehi, tepatnya pada tahun 1479M., berdirilah kerajaan islam yang pertama di pulau jawa (di Demak, jawa tengah), dengan rajanya yang pertama adalah raden patah, maka tercatat dalam sejarah bahwa semenjak itu pula tersebarnya ajaran tasawuf  di pulau jawa[1]

Perkembangan islam di jawa untuk selanjutnya umumnya di gerakan oleh ulama yang di kenal dengan panggilan wali sanga atau wali Sembilan, semenjak penyiaran islam di jawa  di ambil alih oleh kerabat elit karaton,kelihatanya secara pelan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan teradisi local, yang berakibat bergesernya nilai ke islaman sufisme karena telah tergantinya oleh model spiritualis non religious. Situasi yang hamper sama, juga menimpa dunia pesantren yang di sebabkan oleh infasi system pendidikan skular yang berasal dari eropa melalui colonial belanda. Maka kehidupan sufisme di Indonesia secara berangsur bergeser dari garis lurus yang di letakan para sufi terdahulu sehingga warna kejawen lebih tampil kedepan ketimbang sufismenya sendiri.[2]

Gaya berdakwah dan bertasawuf semacam ini di gemari di tanah jawa. Hasilnyapun konkeret dan nyata. Dan patut di ingat, metode ini butuh di terapkan setelah sekian ratus tahun komunitas muslim berdakwah dengan beragam cara tetapi gagal karena itu para penerus malik Ibrahim setia dengan metode ini.para wali seperti sunan bonag, sunan Drajat dan sunan kali jaga adalah para pendakwah penerus pejuangan malik Ibrahim. Sunan boning menciptakan suluk, atau aliran dalam puisi intuk berdakwah, sunan drajat menciptakan gamelan, sedang sunan kalijaga mempopulerkan wayang. Semua di gunakan sebagai media dalam dakwah. Di antara para wali yang berjumlah Sembilan itu, sunan kali jaga adalah yang paling terkenal sekaligus intens dalam menggunakan media seni dalam berdakwah.[3]

Pada masa pera wali ini, pentas seni bahkan lebih sering di lakikan ketimbang acara jikir seperti tahlilan atau isighasah, menggunakan istilah yang umum di gunakan sekarang jika harus berzikir, maka zikir itupun dikemas dalam bentuk lagu atau puisi dan hamper selalu di iringi dengan lantunan suara music seperti gamelan, rabbana atau gong. Dan ini adalah ‘javanese genius’-dalam unkapan AH johns- yang berhasil mengubah penduduk jawa menjadi penganut islam dengan cara yang elegan, jauh dari kesan memaksa atau menggurui.

Kepemimpinan raja atau sultan selalu di damping dan di dukung oleh karisma ulama tasawuf. Di kawasan bagian sumatra bagian utara saja setidaknya ada empat sufi termuka, antara lain Hamzah Fansuri( + abad 17 M.) di barus, kota kecil di pantai barat Sumatra di utara sibolga.

Aktivitas ke ilmuan di Sumatra juga sudah cukui mengagumkan bagaimana para ulama nusantara bisa membangun kontak dengan para guru sufi mancan Negara adalah persoalan tersedia yang mengundang pertanyaan untuk di gali. Bagaimana lalu lintas ide, keluar masuknya gagasan, sirkulasi literature dan para guru sufi serta perkembangan sebuah aliran pemikiran disana dapat menjadi pokok kajian tersendiri ang menarik. Yang patut di ingat adalah, di bandingkan dengan pusat peradaban dan pembelajaran di belahan dunia islam lainya, aceh adalah baru. Namun demikian, wilayah ini ternyata sudah mampu melahirkan generasi ilmuan yang membanggakan. Mereka pandai dan terdidik, mampu bersaing dengan ulama internasional, mengikuti perkembangan ilmu dan pengetahuan di tingkat dunia, dan ikut tewrlibat dalam pedebatan dengan ulama mancan Negara.[4]

Hiruk pikuk ulama internasional di aceh sudah menjadi pemandangan yang biasa.[5] Para penuntut ilmu dari nusantara yang berpergian ke tanah arab juga sudah banyak. Hamsah pansuri termaksuk yang giat mencari ilmu hingga ke makkah madinah, Baghdad, dan yaman. Ia bahkan berhasil memboyong gagasan-gagasan tasawuf inti dari sana untuk di bawa pulang ke Sumatra antara lain pemikiran ibn Arabi Sadruddin al- Qunawi Abdul Karim Al-jili dan Abdul Rahman jami tidak ketinggalan ia juga memboyong pemikiran Al- Gazali dan Ajaran Tarekat Abdul Qadir Al-jilani. Salah satu karya Fansuri berjudul Asrar Al-arifin adalah ringkasan dari ajaran para pemuka tasawuf tersebut di atas.[6]

Dengan demikian, melalui fansuri dan karya-nya, Aceh pada saat itu sudah di semarakan oleh peredaran ide-ide tasawuf kelas wahid ini mencengangkan, mengigat posisi Aceh secara khusus dan nusantara secara umum yang sangat jauh dari pusat peradaban dan pembelajaran islam.

Pengaruh gerakan wahabiah yang di inspirasikan ajaran ibn Taymiah, sampai juga di Indonesia, khusus dalam aspek Sufisme, pada permulaan tahun 50-an, Hamka melalui bukunya Tasawuf, perkembangan, pemurnianya serta tasawuf modern berusaha memperlihatkan bahwa tasawuf yang benar itu adalah yang tetap berakar pada prinsip tauhid, yakni tuhan hanya satu. Sejalan dengan gagasan hamka ini, Nahdatul Ulama (NU) sebagai organisasi islam yang menganut paham Alhlussunnah Waljama’ah (Aswaja) adalah pendukung dan penghayat Tasawuf. Untuk menghindari penyimpangan sufisme dari garis lurus yang di letakan para Syaikh Sufi terdahulu, maka NU meletakan dasar-dasar tasawuf jamaahnya sesuai dengan hikba Aswaja. NU membina Keselarasan Antara tasawuf Al-Gazali dengan tauhid Asy’ariah dan maturidiah serta hokum fiqih sesuai dengan salah satu mazhab sunni yang 4 bahwa mereka yang di akui sah oleh NU hanya tarekat yang sudah di akui baik dan benar oleh syaikh –syaikh tarekat sedunia, yang disebut sebagai tarekat Al-mu’tabarah yang sesuai dengan prinsip-perinsip aswaja NU menganut tasawuf adalah yang sejalan dengan tasawuf suni dan menolak tasawuf syi’i. sufisme dari tarekat yang di terima bersumber dari Al-Gazali dan Junaidi Al-Bagdadi [7]

Fator penyebab tidak lepas dari pengaruh kehidupan yang di tawarkan modernism, dan tampaknya juga karena system kehidupan yang komunal di dalamnya sangat sesuai dengan kultur bangsa Indonesia, sehingga petumbuhan tarekat cukup berkembang dengan baik, dilihat dari sejarah di atas, muncul satu hal yang kurang pasti, yaitu apakah tasawuf awal yang sampai ke Indonesia itu masih dalam bentuknya sebagai aktivitas individual ataukah sudah ercorak tarekat sebagai lembaga. Di telusuri dari sejarah masuknya islam ke Indonesia, tampakmnya sufisme yang di ajarkan di Indonesia sudah di warnai  dengan tarekat sebagai lembaga atau pengujuban. Akan tetapi apabila di lihat dari ke gemaran para santri generasi awal karangan Al-Gazali, ternyata belum di campuri ajaran tarekat. Tentang perkembangan tasawuf dan aliran-alirannya, bahwa tasawuf yang tadinya aktivitas perorangan, telah bergeser kepada bentuk organisasi atau lembaga yang kemudian disebut tarekat, sangat tergantung pada “hibrah” demikian perkembangan yang nyata dari sufisme di Indonesia, terkesan sudah di warnai dengan tarekat, sehingga di identikan dengan tasawuf.


[1] Mahjudin, Akhlaq Tasawuf I, Jakarta, 2009,  hlm,120
[2] Ibid.,Ahmad Bagun Nasution,.Hlm,.61
[3] Ibid,. Arkeologi Tasawuf,. Hlm 355
[4]   Ibid,. Arkeologi Tasawuf,. Hlm,. 359
[5] Hadi WM, Abdul . 2001 Tasawuf yang tertindas: kajian hermeneutic terhadap karya-karya Hamzah Fansuri (Jakarta:paramadina)hlm,.360
[6] Ibid,. Hadi WM, Abdul
[7] Ibid., Ahmad Bagun Nasution,. Hlm 62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar