Islam masuk ke pulau
Jawa tidak bisa dilepaskan dalam konteks masuknya Islam di Nusantara. Begitu
juga dengan tasawuf, masuknya tasawuf di Pulau Jawa tidak bisa dilepaskan
konteks masuknya Islam di Nusantara khusunya Pulau Jawa. Orang banyak menyebut
bahwa Pulau Jawa adalah pulaunya wali songo, karena Islam tersebar di pulau ini
tidak lepas dari kegigihan perjuangan para wali, yang disebut dengan “Wali
Songo”. Islam di Pulau Jawa juga menyebabkan lahirnya beberapa kerajaan islam.
Kerajaan Islam di Jawa mulai berdiri pada abad ke 15 .
Diakhir abad ke 15 Masehi,
tepatnya pada tahun 1479M., berdirilah kerajaan islam yang pertama di pulau
jawa (di Demak, jawa tengah), dengan rajanya yang pertama adalah raden patah,
maka tercatat dalam sejarah bahwa semenjak itu pula tersebarnya ajaran
tasawuf di pulau jawa[1]
Perkembangan islam di
jawa untuk selanjutnya umumnya di gerakan oleh ulama yang di kenal dengan
panggilan wali sanga atau wali Sembilan, semenjak penyiaran islam di jawa di ambil alih oleh kerabat elit
karaton,kelihatanya secara pelan terjadi proses akulturasi sufisme dengan
kepercayaan lama dan teradisi local, yang berakibat bergesernya nilai ke
islaman sufisme karena telah tergantinya oleh model spiritualis non religious.
Situasi yang hamper sama, juga menimpa dunia pesantren yang di sebabkan oleh
infasi system pendidikan skular yang berasal dari eropa melalui colonial
belanda. Maka kehidupan sufisme di Indonesia secara berangsur bergeser dari
garis lurus yang di letakan para sufi terdahulu sehingga warna kejawen lebih
tampil kedepan ketimbang sufismenya sendiri.[2]
Gaya berdakwah dan
bertasawuf semacam ini di gemari di tanah jawa. Hasilnyapun konkeret dan nyata.
Dan patut di ingat, metode ini butuh di terapkan setelah sekian ratus tahun
komunitas muslim berdakwah dengan beragam cara tetapi gagal karena itu para
penerus malik Ibrahim setia dengan metode ini.para wali seperti sunan bonag,
sunan Drajat dan sunan kali jaga adalah para pendakwah penerus pejuangan malik
Ibrahim. Sunan boning menciptakan suluk, atau aliran dalam puisi intuk
berdakwah, sunan drajat menciptakan gamelan, sedang sunan kalijaga
mempopulerkan wayang. Semua di gunakan sebagai media dalam dakwah. Di antara
para wali yang berjumlah Sembilan itu, sunan kali jaga adalah yang paling
terkenal sekaligus intens dalam menggunakan media seni dalam berdakwah.[3]
Pada masa pera wali
ini, pentas seni bahkan lebih sering di lakikan ketimbang acara jikir seperti
tahlilan atau isighasah, menggunakan istilah yang umum di gunakan sekarang jika
harus berzikir, maka zikir itupun dikemas dalam bentuk lagu atau puisi dan
hamper selalu di iringi dengan lantunan suara music seperti gamelan, rabbana
atau gong. Dan ini adalah ‘javanese genius’-dalam unkapan AH johns- yang
berhasil mengubah penduduk jawa menjadi penganut islam dengan cara yang elegan,
jauh dari kesan memaksa atau menggurui.
Kepemimpinan raja atau
sultan selalu di damping dan di dukung oleh karisma ulama tasawuf. Di kawasan
bagian sumatra bagian utara saja setidaknya ada empat sufi termuka, antara lain
Hamzah Fansuri( + abad 17 M.) di barus, kota kecil di pantai barat Sumatra di
utara sibolga.
Aktivitas ke ilmuan di
Sumatra juga sudah cukui mengagumkan bagaimana para ulama nusantara bisa
membangun kontak dengan para guru sufi mancan Negara adalah persoalan tersedia
yang mengundang pertanyaan untuk di gali. Bagaimana lalu lintas ide, keluar
masuknya gagasan, sirkulasi literature dan para guru sufi serta perkembangan
sebuah aliran pemikiran disana dapat menjadi pokok kajian tersendiri ang
menarik. Yang patut di ingat adalah, di bandingkan dengan pusat peradaban dan
pembelajaran di belahan dunia islam lainya, aceh adalah baru. Namun demikian,
wilayah ini ternyata sudah mampu melahirkan generasi ilmuan yang membanggakan.
Mereka pandai dan terdidik, mampu bersaing dengan ulama internasional,
mengikuti perkembangan ilmu dan pengetahuan di tingkat dunia, dan ikut
tewrlibat dalam pedebatan dengan ulama mancan Negara.[4]
Hiruk pikuk ulama
internasional di aceh sudah menjadi pemandangan yang biasa.[5] Para
penuntut ilmu dari nusantara yang berpergian ke tanah arab juga sudah banyak.
Hamsah pansuri termaksuk yang giat mencari ilmu hingga ke makkah madinah,
Baghdad, dan yaman. Ia bahkan berhasil memboyong gagasan-gagasan tasawuf inti
dari sana untuk di bawa pulang ke Sumatra antara lain pemikiran ibn Arabi
Sadruddin al- Qunawi Abdul Karim Al-jili dan Abdul Rahman jami tidak
ketinggalan ia juga memboyong pemikiran Al- Gazali dan Ajaran Tarekat Abdul
Qadir Al-jilani. Salah satu karya Fansuri berjudul Asrar Al-arifin adalah
ringkasan dari ajaran para pemuka tasawuf tersebut di atas.[6]
Dengan demikian,
melalui fansuri dan karya-nya, Aceh pada saat itu sudah di semarakan oleh
peredaran ide-ide tasawuf kelas wahid ini mencengangkan, mengigat posisi Aceh
secara khusus dan nusantara secara umum yang sangat jauh dari pusat peradaban
dan pembelajaran islam.
Pengaruh gerakan
wahabiah yang di inspirasikan ajaran ibn Taymiah, sampai juga di Indonesia,
khusus dalam aspek Sufisme, pada permulaan tahun 50-an, Hamka melalui bukunya
Tasawuf, perkembangan, pemurnianya serta tasawuf modern berusaha memperlihatkan
bahwa tasawuf yang benar itu adalah yang tetap berakar pada prinsip tauhid,
yakni tuhan hanya satu. Sejalan dengan gagasan hamka ini, Nahdatul Ulama (NU) sebagai
organisasi islam yang menganut paham Alhlussunnah Waljama’ah (Aswaja) adalah
pendukung dan penghayat Tasawuf. Untuk menghindari penyimpangan sufisme dari
garis lurus yang di letakan para Syaikh Sufi terdahulu, maka NU meletakan
dasar-dasar tasawuf jamaahnya sesuai dengan hikba Aswaja. NU membina
Keselarasan Antara tasawuf Al-Gazali dengan tauhid Asy’ariah dan maturidiah
serta hokum fiqih sesuai dengan salah satu mazhab sunni yang 4 bahwa mereka
yang di akui sah oleh NU hanya tarekat yang sudah di akui baik dan benar oleh
syaikh –syaikh tarekat sedunia, yang disebut sebagai tarekat Al-mu’tabarah yang
sesuai dengan prinsip-perinsip aswaja NU menganut tasawuf adalah yang sejalan
dengan tasawuf suni dan menolak tasawuf syi’i. sufisme dari tarekat yang di terima
bersumber dari Al-Gazali dan Junaidi Al-Bagdadi [7]
[1] Mahjudin,
Akhlaq Tasawuf I, Jakarta, 2009, hlm,120
[2]
Ibid.,Ahmad Bagun Nasution,.Hlm,.61
[3]
Ibid,. Arkeologi Tasawuf,. Hlm 355
[4] Ibid,. Arkeologi Tasawuf,. Hlm,. 359
[5]
Hadi WM, Abdul . 2001 Tasawuf yang
tertindas: kajian hermeneutic terhadap karya-karya Hamzah Fansuri (Jakarta:paramadina)hlm,.360
[6]
Ibid,. Hadi WM, Abdul
[7] Ibid.,
Ahmad Bagun Nasution,. Hlm 62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar